JL. MT. Haryono No. 98 Kec. Setu
Kab. Bekasi Provinsi Jawa Barat
Kode Pos 17320
Telp. +62 21 82602182
Fax. +62 21 82607499
2024-06-26 11:30:00 | Superadmin
Aflatoksin merupakan segolongan senyawa toksik (mikotoksin, toksin yang berasal dari fungi) yang dikenal mematikan dan karsinogenik bagi manusia dan hewan. Spesies penghasilnya adalah segolongan fungi (jenis kapang) dari genus Aspergillus, terutama A. flavus (dari sini nama "afla" diambil) dan A. parasiticus yang berasosiasi dengan produk-produk biji-bijian berminyak atau berkarbohidrat tinggi. Kandungan aflatoksin ditemukan pada biji kacang-kacangan (kacang tanah, kedelai, pistacio, atau bunga matahari), rempah-rempah (seperti ketumbar, jahe, lada, serta kunyit), dan serealia (seperti gandum, padi, sorgum, dan jagung). Aflatoksin juga dapat dijumpai pada susu yang dihasilkan hewan ternak yang memakan produk yang terinfestasi kapang tersebut.
Saat ini ada 4 macam aflatoksin yaitu AFB1, AFB2 , AFG1, dan AFG2 yang merupakan aflatoksin induk yang telah dikenal secara alami dan dijumpai di alam . AFB1, adalah jenis aflatoksin yang paling toksik. Kapang tersebut banyak mencemari produk pertanian, diantaranya adalah kacang-kacangan, beras, jagung, gandum, biji kapas dan biji-bijian lainnya. Selain itu, Aflatoksin M1, dan M2 ditemukan pada susu sapi dan merupakan epoksida yang menjadi senyawa antara.
Aflatoksin B1, senyawa yang paling toksik, berpotensi merangsang kanker, terutama kanker hati. Serangan toksin yang paling ringan adalah lecet (iritasi) ringan akibat kematian jaringan (nekrosis). Pemaparan pada kadar tinggi dapat menyebabkan sirosis, karsinoma pada hati, serta gangguan pencernaan, penyerapan bahan makanan, dan metabolisme nutrien.
Metode Pengujian ELISA
Upaya menjaga agar kadar aflatoksin pada pakan dan pangan tetap dalam batas-batas yang masih dapat ditolerir dan tidak membahayakan ternak dan manusia, beberapa negara termasuk Indonesia telah menetapkan batas maksimum kadar aflatoksin pada pakan dan pangan . Metode Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) sudah mulai dipakai untuk analisis kuantitatif, dan diakui dapat digunakan sebagai metode skrining yang cepat dan sensitif serta sudah banyak dikembangkan dan digunakan. Dibandingkan dengan metoda kimia fisika (kromatografi), Metode ELISA dianggap dapat dilakukan lebih mudah dan cepat serta cukup sensitif. Sementara itu, metoda kimia fisika mempunyai kelemahan selain harga instrumen yang mahal, diperlukan pelaksana yang betul-betul terlatih, dan tahap analisis yang cukup panjang melalui tahapan ekstraksi, pemurnian, pemisahan, dan memerlukan pereaksi cukup banyak, sehingga biaya analisis menjadi mahal . Pengujian aflatoksin dengan metode ELISA menggunakan kit pengujian dan dibaca menggunakan alat ELISA reader.
Prinsip Pengujian ELISA
Format ELISA yang umum dikembangkan untuk senyawa dengan bobot molekul rendah (hapten) adalah ELISA kompetitif. Pada dasarnya terdiri dari 2 format yaitu kompetitif langsung dan kompetitif tidak langsung. Prinsip dari pengujian Aflatoksin menggunakan Kit Aflatoksin adalah Direct Competitive ELISA. Aflatoksin diekstrak dari sampel menggunakan 70 % methanol. Standar dan ekstrak sampel dicampur dengan enzym konjugat terlebih dahulu dalam plate pencampuran (dilution microwell), kemudian dipindahkan ke dalam plate yang sudah terlapis antibodi (antibody coated microwell). Aflatoksin yang ada dalam sampel dan standar akan berkompetisi dengan antigen yang ada dalam enzym konjugat untuk berikatan dengan antibodi di dalam plate. Setelah proses pencucian dengan aquades, dilakukan penambahan substrat yang akan memberikan efek warna biru. Semakin tinggi kadar aflatoksin, semakin pudar intensitas warnanya. Penambahan stop solution dilakukan untuk menghentikan reaksi, dan mengubah warna dari biru menjadi kuning. Intensitas warna diukur dengan ELISA Reader pada panjang gelombang 450nm.
Batasan Cemaran Aflatoksin Pada Pakan
Mutu pakan tidak hanya ditentukan oleh komposisi nilai gizi dari pakan tersebut, tetapi juga harus bebas dari kontaminan seperti senyawa racun aflatoksin yang berpotensi mencemari pakan ternak. Oleh sebab itu untuk menghindari kerugian dan melindungi konsumen produk peternakan, pemerintah menetapkan peraturan berkaitan dengan mutu pakan. Pengujian bahan baku pakan dan pakan mengacu pada persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI) dan Persyaratan Teknis Minimal yang berlaku secara nasional . SNI adalah standar yang dikeluarkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) dan berlaku secara nasional, sedangkan terhadap standar mutu pakan yang tidak atau belum ditetapkan dalam SNI, maka Menteri Pertanian telah menetapkan Persyaratan Teknis Minimal (PTM). Beberapa SNI kadar maksimum aflatoksin pada pakan ditampilkan pada Tabel 1 :
Tabel 1. Kadar Maksimum Aflatoksin (Afla) menurut SNI
No |
Jenis Pakan |
Afla (ppb) |
Nomor SNI |
|
Mutu I |
Mutu II |
|||
1 |
Ayam Pedaging (Broiler) |
|
||
|
Prestarter |
40 |
50 |
8173-1:2022 |
|
Starter |
50 |
50 |
8173-2:2023 |
|
Finisher |
50 |
50 |
8173.3:2023 |
2 |
Ayam Petelur (Layer) |
|
||
|
Pre starter |
50 |
8290.1:2016 |
|
|
Starter |
50 |
8290.2:2016 |
|
|
Grower (Dara) |
50 |
8290.3:2016 |
|
|
Pre layer |
50 |
8290.4:2016 |
|
|
Layer |
50 |
8290.5:2016 |
|
|
Layer post peak |
50 |
8290.6:2016 |
|
3 |
Ayam Buras |
|
||
|
Starter |
50 |
60 |
7783-1:2022 |
|
Grower |
50 |
60 |
7783-2:2022 |
|
Layer |
50 |
50 |
7783-3:2022 |
4 |
Konsentrat Sapi Perah |
|
||
|
Pemula-1 |
50 |
3148-1:2017 |
|
|
Pemula-2 |
100 |
3148-1:2017 |
|
|
Dara |
200 |
3148-1:2017 |
|
|
Laktasi |
100 |
3148-1:2017 |
|
|
Laktasi Produksi Tinggi |
100 |
3148-1:2017 |
|
|
Kering Bunting |
100 |
3148-1:2017 |
|
|
Pejantan |
200 |
3148-1:2017 |
|
5 |
Konsentrat Sapi Potong |
3148-2:2017 |
||
|
Penggemukan |
200 |
3148-2:2017 |
|
|
Induk |
200 |
3148-2:2017 |
|
|
Pejantan |
200 |
3148-2:2017 |
|
6. |
Pakan Itik Pedaging |
|
||
|
Starter |
25 |
8507:2018 |
|
|
Penggemukan |
25 |
8508:2018 |
|
7. |
Pakan Itik Petelur |
|
||
|
Grower |
20 |
3909:2017 |
|
|
Layer |
20 |
3910:2017 |
|
8. |
Pakan Puyuh (Quail) |
|
||
|
Starter |
40 |
40 |
3905:2023 |
|
Grower |
40 |
40 |
3906:2022 |
|
Layer |
50 |
50 |
3907:2023 |
9 |
Pakan Babi |
|
||
|
Anak prasapih (Prestarter) |
30 |
30 |
3911:2023 |
|
Anak sapihan (Starter) |
40 |
40 |
3912:2023 |
|
Pembesaran (Grower) |
40 |
40 |
3913:2023 |
|
Penggemukan (Finisher) |
40 |
40 |
3914:2023 |
|
Induk Bunting |
40 |
40 |
3915-1:2023 |
|
Induk menyusui |
40 |
40 |
3915-2:2023 |
10 |
Pakan kuda |
|
||
|
Kuda Anak |
30 |
8817:2019 |
|
|
Kuda Muda |
30 |
8817:2019 |
|
|
Kuda Dewasa |
30 |
8817:2019 |
|
|
Kuda Bunting |
30 |
8817:2019 |
|
|
Kuda Menyusui |
30 |
8817:2019 |
|
|
Kuda Pejantan |
30 |
8817:2019 |
|
|
Kuda performa sedang |
30 |
8817:2019 |
|
|
Kuda performa berat |
30 |
8817:2019 |
|
11 |
Pakan konsentrat kambing perah |
|
||
|
Anak kambing perah |
150 |
8818:2019 |
|
|
Kambing perah laktasi |
100 |
8818:2019 |
|
12 |
Pakan konsentrat domba penggemukan |
200 |
8819:2019 |
Daftar Pustaka
Direktorat Pakan. 2023. Kumpulan SNI Pakan. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Kementerian Pertanian.
Mulyawantiet al.2006. Aflatoksin Pada Jagung Dan Cara Pencegahannya. Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian Vol.2 2006 : 23-34
Rachmawati, S. 2005. Aflatoksin Dalam Pakan Ternak di Indonesia : Persyaratan Kadar dan Pengembangan Teknik Deteksinya. Wartazoa Vol 15 No.1.
Widiastuti. 2006. Mikotoksin: Pengaruh Terhadap Kesehatan Ternak dan Residunya Dalam Produk Ternak Serta Pengendaliannya. Wartazoa Vol. 16 No. 3: 116-122.